rss

Jumat, 15 April 2011

MUHAMMADIYAH DAN AMAL USAHA MUHAMMADIYAH DI BIDANG PENDIDIKAN


Sebagaimana yang dipahami umum, Muhammadiyah dengan seluruh sepak terjangnya itu ’hanyalah’ merupakan konstruksi sosial dari surat Al Ma’un. Oleh sebab itu secara ideologi Muhammadiyah itu adalah Al Ma’unisme. Sehingga warga Muhammadiyah bisa disebut sebagai kaum ”Al Ma’unis”.

Sebagai konsekuensi dari ideologi Al Ma’unisme, maka orientasi ke-Islaman kaum Al Maunis ini menjadi lebih antroposentris dari pada teosentris, dengan berbagai macam implikasinya. Kaum Al Ma’unis lebih eksoteris dalam beragama, lebih empati terhadap masalah-masalah berkaitan dengan ”yang tercipta” daripada ”Sang Pencipta”.

Kiprah Muhammadiyah yang sangat ekstensif di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial adalah konsepsi, formulasi, dan realisasi dari karakter Islam yang terpusat pada ”yang tercipta” tersebut.

Dalam gerakan Muhammadiyah, konsep tentang ”Yatim” dan ”Miskin” dewasa ini belum mengalami perluasan makna. ”Yatim” sebetulnya bukan hanya secara harfiah anak yang sudah tidak memiliki orang tua. Begitu juga konsep miskin tidak sekedar kalangan masyarakat yang tidak berkecukupan dasar secara ekonomis, tetapi juga sosial bahkan spiritual.

Awal gerakan Muhammadiyah di bidang pendidikan menemukan momentum sebagai pelopor. Ketika negara dan kelompok masyarakat yang lain belum melakukannya. Namun setelah memasuki satu abad kiprahnya, Muhammadiyah mulai kehilangan kepeloporan itu.

Peran Muhammadiyah di bidang pendidikan mulai diadopsi oleh isntitusi-institusi dan terutama telah diakuisisi oleh negara. Sehingga kiprah Muhammadiyah di bidang pendidikan dewasa ini mengalami kemerosotan yang agak tajam karena gagal melakukan inovasi dalam menghadapi kompetitor-kompetitor yang sebetulnya mereka dulu meniru Muhammadiyah. Kompetitor itu adalah termasuk negara.


ANGGARAN DASAR MUHAMMADIYAH

BAB I
NAMA, PENDIRI, DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 1
Nama
Persyarikatan ini bernama Muhammadiyah.
Pasal 2
Pendiri
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak terbatas.
Pasal 3
Tempat Kedudukan
Muhammadiyah berkedudukan di Yogyakarta.
BAB II
IDENTITAS, ASAS, DAN LAMBANG
Pasal 4
Identitas dan Asas
(1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
(2) Muhammadiyah berasas Islam.
Pasal 5
Lambang
Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allãh )

BAB III
MAKSUD DAN TUJUAN SERTA USAHA
Pasal 6
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Pasal 7
Usaha
(1) Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.
(2) Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
(3) Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 8
Anggota serta Hak dan Kewajiban
(1) Anggota Muhammadiyah terdiri atas:
a. Anggota Biasa ialah warga negara Indonesia beragama Islam.
b. Anggota Luar Biasa ialah orang Islam bukan warga negara Indonesia.
c. Anggota Kehormatan ialah perorangan beragama Islam yang berjasa terhadap Muhammadiyah dan atau karena kewibawaan dan keahliannya bersedia membantu Muhammadiyah.
(2) Hak dan kewajiban serta peraturan lain tentang keanggotaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB V
SUSUNAN DAN PENETAPAN ORGANISASI
Pasal 9
Susunan Organisasi
Susunan organisasi Muhammadiyah terdiri atas:
1. Ranting ialah kesatuan anggota dalam satu tempat atau kawasan
2. Cabang ialah kesatuan Ranting dalam satu tempat
3. Daerah ialah kesatuan Cabang dalam satu Kota atau Kabupaten
4. Wilayah ialah kesatuan Daerah dalam satu Propinsi
5. Pusat ialah kesatuan Wilayah dalam Negara
Pasal 10
Penetapan Organisasi
(1) Penetapan Wilayah dan Daerah dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
(2) Penetapan Cabang dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah.
(3) Penetapan Ranting dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah.
(4) Dalam hal-hal luar biasa Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
BAB VI
PIMPINAN
Pasal 11
Pimpinan Pusat
(1) Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi yang memimpin Muhammadiyah secara keseluruhan.
(2) Pimpinan Pusat terdiri atas sekurang-kurangnya tiga belas orang, dipilih dan ditetapkan oleh Muktamar untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang diusulkan oleh Tanwir.
(3) Ketua Umum Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Muktamar dari dan atas usul anggota Pimpinan Pusat terpilih.
(4) Anggota Pimpinan Pusat terpilih menetapkan Sekretaris Umum dan diumumkan dalam forum Muktamar.
(5) Pimpinan Pusat dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Tanwir.
(6) Pimpinan Pusat diwakili oleh Ketua Umum atau salah seorang Ketua bersama-sama Sekretaris Umum atau salah seorang Sekretaris, mewakili Muhammadiyah untuk tindakan di dalam dan di luar pengadilan.
Pasal 12
Pimpinan Wilayah
(1) Pimpinan Wilayah memimpin Muhammadiyah dalam wilayahnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan Pusat.
(2) Pimpinan Wilayah terdiri atas sekurang-kurangnya sebelas orang ditetapkan oleh Pimpinan Pusat untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang dipilih dalam Musyawarah Wilayah.
(3) Ketua Pimpinan Wilayah ditetapkan oleh Pimpinan Pusat dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Wilayah terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Wilayah.
(4) Pimpinan Wilayah dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Wilayah yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Pusat.
Pasal 13
Pimpinan Daerah
(1) Pimpinan Daerah memimpin Muhammadiyah dalam daerahnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya.
(2) Pimpinan Daerah terdiri atas sekurang-kurangnya sembilan orang ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah untuk satu masa jabatan dari calon-calon anggota Pimpinan Daerah yang telah dipilih dalam Musyawarah Daerah.
(3) Ketua Pimpinan Daerah ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Daerah terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Daerah.
(4) Pimpinan Daerah dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Daerah yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Wilayah.
Pasal 14
Pimpinan Cabang
(1) Pimpinan Cabang memimpin Muhammadiyah dalam Cabangnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya.
(2) Pimpinan Cabang terdiri atas sekurang-kurangnya tujuh orang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang dipilih dalam Musyawarah Cabang.
(3) Ketua Pimpinan Cabang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Cabang terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Cabang.
(4) Pimpinan Cabang dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Cabang yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Daerah.
Pasal 15
Pimpinan Ranting
(1) Pimpinan Ranting memimpin Muhammadiyah dalam Rantingnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya.
(2) Pimpinan Ranting terdiri atas sekurang-kurangnya lima orang ditetapkan oleh Pimpinan Cabang untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang dipilih dalam Musyawarah Ranting.
(3) Ketua Pimpinan Ranting ditetapkan oleh Pimpinan Cabang dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Ranting terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Ranting.
(4) Pimpinan Ranting dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Ranting yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Cabang.
Pasal 16
Pemilihan Pimpinan
(1) Anggota Pimpinan terdiri atas anggota Muhammadiyah.
(2) Pemilihan dapat dilakukan secara langsung atau formatur.
(3) Syarat anggota Pimpinan dan cara pemilihan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 17
Masa Jabatan Pimpinan
(1) Masa jabatan Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting lima tahun.
(2) Jabatan Ketua Umum Pimpinan Pusat, Ketua Pimpinan Wilayah, Ketua Pimpinan Daerah, masing-masing dapat dijabat oleh orang yang sama dua kali masa jabatan berturut-turut.
(3) Serah-terima jabatan Pimpinan Pusat dilakukan pada saat Muktamar telah menetapkan Pimpinan Pusat baru. Sedang serah-terima jabatan Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting dilakukan setelah disahkan oleh Pimpinan di atasnya.
Pasal 18
Ketentuan Luar Biasa
Dalam hal-hal luar biasa yang terjadi berkenaan dengan ketentuan pada pasal 12 sampai dengan pasal 17, Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
Pasal 19
Penasihat
(1) Pimpinan Muhammadiyah dapat mengangkat penasihat.
(2) Ketentuan tentang penasihat diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VII
UNSUR PEMBANTU PIMPINAN
Pasal 20
Majelis dan Lembaga
(1) Unsur Pembantu Pimpinan terdiri atas Majelis dan Lembaga.
(2) Majelis adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang menjalankan sebagian tugas pokok Muhammadiyah.
(3) Lembaga adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang menjalankan tugas pendukung Muhammadiyah.
(4) Ketentuan tentang tugas dan pembentukan Unsur Pembantu Pimpinan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VIII
ORGANISASI OTONOM
Pasal 21
Pengertian dan Ketentuan
(1) Organisasi Otonom ialah satuan organisasi di bawah Muhammadiyah yang memiliki wewenang mengatur rumah tangganya sendiri, dengan bimbingan dan pembinaan oleh Pimpinan Muhammadiyah.
(2) Organisasi Otonom terdiri atas organisasi otonom umum dan organisasi otonom khusus.
(3) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Otonom disusun oleh organisasi otonom masing-masing berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah.
(4) Pembentukan dan pembubaran Organisasi Otonom ditetapkan oleh Tanwir.
(5) Ketentuan lain mengenai organisasi otonom diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB IX
PERMUSYAWARATAN
Pasal 22
Muktamar
(1) Muktamar ialah permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.
(2) Anggota Muktamar terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Pusat
b. Ketua Pimpinan Wilayah
c. Anggota Tanwir Wakil Wilayah
d. Ketua Pimpinan Daerah
e. Wakil Daerah yang dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Daerah, terdiri atas wakil Cabang berdasarkan perimbangan jumlah Cabang dalam tiap Daerah
f. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat.
(3) Muktamar diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Muktamar diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
Pasal 23
Muktamar Luar Biasa
(1) Muktamar Luar Biasa ialah muktamar darurat disebabkan oleh keadaan yang membahayakan Muhammadiyah dan atau kekosongan kepemimpinan, sedang Tanwir tidak berwenang memutuskannya.
(2) Muktamar Luar Biasa diadakan oleh Pimpinan Pusat atas keputusan Tanwir..
(3) Ketentuan mengenai Muktamar Luar Biasa diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 24
Tanwir
(1) Tanwir ialah permusyawaratan dalam Muhammadiyah di bawah Muktamar, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.
(2) Anggota Tanwir terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Pusat
b. Ketua Pimpinan Wilayah
c. Wakil Wilayah
d. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat
(3) Tanwir diadakan sekurang-kurangnya tiga kali selama masa jabatan Pimpinan.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Tanwir diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 25
Musyawarah Wilayah
(1) Musyawarah Wilayah ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Wilayah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Wilayah.
(2) Anggota Musyawarah Wilayah terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Wilayah
b. Ketua Pimpinan Daerah
c. Anggota Musyawarah Pimpinan Wilayah Wakil Daerah
d. Ketua Pimpinan Cabang
e. Wakil Cabang yang dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Cabang yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah atas dasar perimbangan jumlah Ranting dalam tiap Cabang
f. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Wilayah
(3) Musyawarah Wilayah diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Wilayah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 26
Musyawarah Daerah
(1) Musyawarah Daerah ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Daerah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Daerah.
(2) Anggota Musyawarah Daerah terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Daerah
b. Ketua Pimpinan Cabang
c. Anggota Musyawarah Pimpinan Daerah Wakil Cabang
d. Ketua Pimpinan Ranting
e. Wakil Ranting yang dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Ranting yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah atas dasar perimbangan jumlah anggota
f. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Daerah
(3) Musyawarah Daerah diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Daerah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 27
Musyawarah Cabang
(1) Musyawarah Cabang ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Cabang, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Cabang.
(2) Anggota Musyawarah Cabang terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Cabang
b. Ketua Pimpinan Ranting
c. Anggota Musyawarah Pimpinan Cabang Wakil Ranting
d. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Cabang
(3) Musyawarah Cabang diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Cabang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 28
Musyawarah Ranting
(1) Musyawarah Ranting ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Ranting, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Ranting.
(2) Anggota Musyawarah Ranting terdiri atas:
a. Anggota Muhammadiyah dalam Ranting
b. Wakil Organisasi Otonom tingkat Ranting
(3) Musyawarah Ranting diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Ranting diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 29
Musyawarah Pimpinan
(1) Musyawarah Pimpinan ialah permusyawaratan Pimpinan dalam Muhammadiyah pada tingkat Wilayah sampai dengan Ranting yang berkedudukan di bawah Musyawarah pada masing-masing tingkat.
(2) Musyawarah Pimpinan diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(3) Acara dan ketentuan lain mengenai Musyawarah Pimpinan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 30
Keabsahan Musyawarah
Musyawarah tersebut dalam pasal 22 sampai dengan pasal 29 kecuali pasal 23 dinyatakan sah apabila dihadiri oleh dua pertiga anggotanya yang telah diundang secara sah oleh Pimpinan Muhammadiyah di tingkat masing-masing.
Pasal 31
Keputusan Musyawarah
Keputusan Musyawarah tersebut dalam pasal 22 sampai dengan pasal 29 kecuali pasal 23 diusahakan dengan cara mufakat. Apabila keputusan secara mufakat tidak tercapai maka dilakukan pemungutan suara dengan suara terbanyak mutlak.
BAB X
RAPAT
Pasal 32
Rapat Pimpinan
(1) Rapat Pimpinan ialah rapat dalam Muhammadiyah di tingkat Pusat, Wilayah, dan Daerah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Muhammadiyah apabila diperlukan.
(2) Rapat Pimpinan membicarakan masalah kebijakan organisasi.
(3) Ketentuan lain mengenai Rapat Pimpinan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 33
Rapat Kerja
(1) Rapat Kerja ialah rapat yang diadakan untuk membicarakan segala sesuatu yang menyangkut amal usaha, program dan kegiatan organisasi.
(2) Rapat Kerja dibedakan dalam dua jenis yaitu Rapat Kerja Pimpinan dan Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan.
(3) Rapat Kerja Pimpinan pada tiap tingkat diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun.
(4) Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan diadakan dua kali dalam satu masa jabatan.
(5) Ketentuan mengenai masing-masing jenis Rapat Kerja diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 34
Tanfidz
(1) Tanfidz adalah pernyataan berlakunya keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat yang dilakukan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(2) Keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat berlaku sejak ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(3) Tanfidz keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat semua tingkat
a. Bersifat redaksional
b. Mempertimbangkan kemaslahatan
c. Tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
BAB XI
KEUANGAN DAN KEKAYAAN
Pasal 35
Pengertian
Keuangan dan kekayaan Muhammadiyah adalah semua harta benda yang diperoleh dari sumber yang sah dan halal serta digunakan untuk kepentingan pelaksanaan amal usaha, program, dan kegiatan Muhammadiyah.
Pasal 36
Sumber
Keuangan dan kekayaan Muhammadiyah diperoleh dari:
1. Uang Pangkal, Iuran, dan Bantuan
2. Hasil hak milik Muhammadiyah
3. Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, Wasiat, dan Hibah
4. Usaha-usaha perekonomian Muhammadiyah
5. Sumber-sumber lain

Pasal 37
Pengelolaan dan Pengawasan
Ketentuan mengenai pengelolaan dan pengawasan keuangan dan kekayaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XII
LAPORAN
Pasal 38
Laporan
(1) Pimpinan Muhammadiyah semua tingkat wajib membuat laporan perkembangan organisasi dan laporan pertanggungjawaban keuangan serta kekayaan, disampaikan kepada Musyawarah Pimpinan, Musyawarah tingkat masing-masing, Tanwir, dan Muktamar.
(2) Ketentuan lain tentang laporan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XIII
ANGGARAN RUMAH TANGGA
Pasal 39
Anggaran Rumah Tangga
(1) Anggaran Rumah Tangga menjelaskan dan mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam Anggaran Dasar.
(2) Anggaran Rumah Tangga dibuat oleh Pimpinan Pusat berdasarkan Anggaran Dasar dan disahkan oleh Tanwir.
(3) Dalam keadaan yang sangat memerlukan perubahan, Pimpinan Pusat dapat mengubah Anggaran Rumah Tangga dan berlaku sampai disahkan oleh Tanwir.
BAB XIV
PEMBUBARAN
Pasal 40
Pembubaran
(1) Pembubaran Muhammadiyah hanya dapat dilakukan dalam Muktamar Luar Biasa yang diselenggarakan khusus untuk keperluan itu atas usul Tanwir.
(2) Muktamar Luar Biasa yang membicarakan usul Tanwir tentang pembubaran dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota Muktamar Luar Biasa.
(3) Keputusan pembubaran diambil sekurang-kurangnya tiga perempat dari yang hadir.
(4) Muktamar Luar Biasa memutuskan segala hak milik Muhammadiyah diserahkan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam setelah Muhammadiyah dinyatakan bubar.

BAB XV
PERUBAHAN
Pasal 41
Perubahan Anggaran Dasar
(1) Perubahan Anggaran Dasar ditetapkan oleh Muktamar.
(2) Rencana perubahan Anggaran Dasar diusulkan oleh Tanwir dan harus sudah tercantum dalam acara Muktamar.
(3) Perubahan Anggaran Dasar dinyatakan sah apabila diputuskan oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota Muktamar yang hadir
BAB XVI
PENUTUP
Pasal 42
Penutup
(1) Anggaran Dasar ini ini telah disahkan dan ditetapkan oleh Muktamar ke-45 yang berlangsung pada tanggal 26 Jumadil Awal s.d. 1 Jumadil Akhir 1426 H bertepatan dengan tanggal 3 s.d. 8 Juli 2005 M. di Malang, dan dinyatakan mulai berlaku sejak ditanfidzkan.
(2) Setelah Anggaran Dasar ini ditetapkan, Anggaran Dasar sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.

GERAKAN PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH: (Antara Purifikasi dan Modernisasi)


BANYAK Cendikiawan Muslim dan pengamat sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah “bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana.”[1] Hanya dengan Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.[2] Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan orientasi yang agak berbeda satu sama lain.
Dari sekian banyak gerakan tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.

A. Setting Historis
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia. Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni pencampuradukan dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid’ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari al-qur’an maupun as- sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[3] Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.[4]
Menurut Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia agak menyepelekan “faktor misi Kristen” ini. Alasan pertama adalah keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia. Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen. Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama, kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971, meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an. Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.

B. Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab disebut ‘tajdid’, dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid’ah dan Khurafat. [5] Cita-cita dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[6]
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid’ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan “pemurnian” (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[7] Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian pula bermacam-macam ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do’a, dan zikir, akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ‘’sing mbau rekso” juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.[8]
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru–murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?
Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.[9]
Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilai sosial-religius.
Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.[10]

C. Modernisasi (Tajdid)
Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[11]
Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.[12]
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama, pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur’an dengan bantuan sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan oleh para sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.[13]
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al syari’ah
Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.
Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan antara dimensi “normativitas” wahyu dengan “historisitas” pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad[14] berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara teks “normatifitas” dengan teks “historisitas”. Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma’un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusaha concern terhadap problem sosial yang harus memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.


D. Metodologi Pemikiran Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai gerakan pembaharu dalam model pemikiran Islam. Berbeda dengan organisasi keagamaan lain, Muhammadiyah nampaknya sangat kritis terhadap persoalan-persolan kaagamaan dan sekaligus persoalan sosial. Sehingga dalam dataran praksisnya Muhammadiyah lebih terkesan sebagai organisasi yang anti kemapanan, organisasi yang senantiasa hidup dalam ruang dan waktu yang selalu berubah.
Dari sekian banyak model pemikiran, Muhammadiyah tentu sealur dengan model pemikiran modernisme dan neo-modernisme. Oleh karena itu, Muhammadiyah dalam hal pemikiran lebih mengutamakan rasionalitas, daripada pemikiran normatif an sich. Sehingga ciri yang menonjol pada diri Muhammadiyah adalah sikap “kritis” (critical though) yang sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu. Sikap kritis ini sebanarnya sama halnya aliran modern (modernisme) dalam wacana pemikiran Islam. Adapun neo-modernisme dalam kaitannya dengan Muhammadiyah, keduanya sama-sama mengedepankan nilai-nilai spiritualitas pada satu pihak, dan unggul dalam intelektualitas di pihak lain. Karena modernisme saja tidaklah cukup menjadi bahan referensi untuk menghadapi era global yang melaju dengan cepat. Dua sisi ini menjadi trade mark yang selalu menjadi jargon dalam gerakan Muhammadiyah .

E. Penutup
Dari dua paparan di atas, dapat dibedakan bahwa antara purifikasi dan tajdid terdapat perbedaan yakni pada tataran formulasi atau terapinya. Kalau purifikasi fokusnya lebih kepada dekonstruksi budaya sinkretik yang tercampur dengan ajaran Islam, sedangkan tajdid adalah pembaruan dalam pemikiran Islam untuk menyelaraskan dengan perkembangan dan tuntutan ruang dan waktu. Purifikasi lebih menitik beratkan kepada “pemurnian” atau “pelurusan” sedangkan tajdid menitik beratkan pada “konstektualisasi” atau “pribumisasi” doktrin Islam.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
------------, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.
------------, Falsafah Kalam, di Era post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996.
Arifin, Syamsul, dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Sippress, Yogyakarta, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998.
Kamal, Mustafa dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000.
Rais, M. Amien, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995.
Rais, M. Amin, (dkk), dalam Nurhadi (ed), Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 1996.
Shihab, Alwi, Islam Ingklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997.
------------, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik; Refleksi Teologi Untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994.




[1] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
[2] Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal. 55-58.
[3] Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125.
[4] Ibid., hal. 126.
[5] Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998, hal. 268.
[7] Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
[8] Kuntowijoyo, (1998), Loc Cit., hal. 268.
[9] Ibid, hal. 289.
[10] M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, hal. 147.
[11] Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
[12] Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal xi.

[13] Ibid, hal. xiii
[14] Amin Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.

SEJARAH EMAS MUHAMMADIYAH

Sedikitnya ada dua titik kewaktuan yang pantas dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kehidupan Muhammadiyah. Titik kewaktuan pertama yang sangat bersejarah ialah saat oraganisasi massa religius itu didirikan tokoh harum yang bernama K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta sekitar satu abad yang lalu.

Titik kewaktuan yang kedua ialah ketika Prof. Dr. Amien Rais yang menembus dinding-dinding kampus untuk berkeliling menantang tembok beton kekuasaan Orde Baru yang repressif itu. Saat itu belum ada orang yang berani melawan secara terbuka terhadap kekuasaan dan kekuatan Orde Baru.

Universitas, dalam sejarah tercatat sebagai penyemai utama kaum intelektual. Secara sederhana bisa dikatakan, bahwa seorang intelektual ialah yang berani mengatakan kebenaran (to tell the truth) di hadapan kekuasaan. Untuk penguasa yang tidak benar, seseorang yang mengatakan kebenaran sudah dinilai sebagai perlawanan.

Dengan menembusi dinding kampus, Amien Rais menciptakan suatu ruang publik (public space) untuk dirinya dan untuk masyarakat bangsanya. Dengan demikian Amien Rais melakukan suatu lompatan besar, tranformasi dahsyat yang mengubah dirinya dari seorang guru besar universitas, menjadi seorang intelektual.

Saat itu tidak banyak, atau bahkan tidak ada intelektual lainnya. Kita punya banyak politisi, tetapi di zaman Orde Baru para politisi takut ditangkap, diciduk, dipenjara atau diculik dan hilang tak tentu kuburnya. Di zaman Orde Baru juga sudah banyak profesor. Tetapi profesor umumnya tidak memilih menjadi intelektual. Mereka lebih suka mukim dalam kampus dan kegiatannya tertuang dalam silabus. Tidak kenal ruang publik mereka itu, hanya kenal ruang kelas perkuliahan.

Apakah kaum profesor tidak dengan sendirinya intelektual? Seperti yang dikatakan Anotino Gramsci, semua orang bisa disebut intelektual. Masalahnya dan itu yang terpenting, apakah mereka memiliki peran intelektual dalam masyarakatnya. Saat menyaksikan atau mendengar Amien Rais berbicara dengan lantang dan gagah berani menantang despotisme, banyak orang khawatir, bahkan takut jika satu saat Amien Rais ditangkap atau dihilangan secara paksa dari atas dunia ini.

Aneh tetapi nyata, mengapa Amien Tidak ditahan, ditangkap atau diculik, mengingat saat itu kekuasaan bagaikan singa terluka dan karena itu bisa berbuat apa saja? Tentu saja tidak. Sebab di belakang Amien Rais ada suatu kekuatan moral yang sangat besar dan kuat: Muhammadiyah. Tuhan Maha Agung, dan Amien Rais selamat sehat walafiat. Singkat kata, Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun, runtuh.

Setelah pemilihan umum pertama selewat Orde Baru, Amien Rais duduk sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI). Di pihak lain, Megawati Soekarnopoetri yang partainya memenangkan suara terbanyak, tidak jadi presiden. Ini berarti suara rakyat terbanyak yang memilih Megawati telah dilecehkan. Pelecehan itu tentu saja merpakan cacat moral dalam sejarah politik kita.

Selanjutnya yang terjadi adalah, Megawati sebagai wakil presiden dilantik jadi presiden. Presiden saat itu, Gus Dur, diturunkan dari kursinya. Ini kemauan siapa? Skenario siapa? Jarang orang merenungkannya secara kritis. Tetapi dalam kesempatan ini kita tidak sedang bicara sejarah politik detil. Terpenting untuk direnungkan kembali dalam tulisan ini ialah, bahwa Amien Rais sebagai tokoh penting saat itu berubah lagi.

Perubahan itu terjadi, saat dia dari intelektual menjelma menjadi politisi biasa. Dengan duduk sebagai ketua MPR beliau bermetamorfosis, dari intelektual menjadi insan politik. Intelektual berorientasi kepada keadilan dan kebenaran, politisi berorientasi kepada kekuasaan, pribadi atau golongan. Intelektual, memihak rakyat, politisi bisa memilih: melayani rakyat, atau menguasai rakyat.

Proses perubahan yang terjadi yang meruntuhkan regim lama dan memunculkan regim baru, selama ini disebut reformasi. Dalam hasa harian, reformasi adalah perbaikan, atau pembentukan ulang, pembentukan kembali. Tetapi banyak orang salah paham, seolah reformasi itu peristiwa alam, seperti gunung berapi meletus atau banjir bandang sebuah bengawan.

Menilik arti katanya, reformasi mestilah digerakkan (oleh) manusia. Untuk sebuah CV atau PT yang terkecil pun, diperlukan manajemen yang baik. Tetapi mengapa tidak ada perencanaan dan manajemen untuk sebuah reformasi? Memang perubahan, sekadar perubahan, yang cukup besar, telah terjadi. Tetapi yang terjadi itu bukanlah reformasi melainkan sebuah perubahan belaka. Ternyata perubahan itu tidak terarah, tidak terkendali, sebab memang tidak ada perencana dan pengendalian reformasi.

Mengapa demikian tragis yang terjadi? Perencanaan, pengendalian gerakan reformis adalah tugas dan fungsi kaum intelektual, bahu-membahu dengan kaum intelegensia. Kaum intelektual diperlukan karena fungsi kritis dan kreatifnya, kaum intelegensia diperlukan karena kemampuan teknis dan “skill” dalam bidangnya masing-masing. Malangnya, masyarakat kita ini tidak punya intetelektual (intellectuals), juga tak punya inteteligensia (intelligentsia).

Jika dalam partai politik tidak terdapat kaum intelektual, dengan sendirinya dalam parlemen juga gtidak akan ada intelektual. Jika dalam lembaga eksekutif tidak ada kaum intelektual, tanpa kaum inteligensia, apa yang akan terjadi adalah satu stagnasi. Bagaimanapun juga perubahan penting tidak akan terjadi tanpa kaum intelektual.

Oleh Sides Sudyarto DS

Mengapa Muhammadiyah Lahir? (Tinjauan Buku Api Sejarah)

PADA 1912, kekuatan umat Islam di Surakarta dan Yogyakarta sudah dipatahkan penjajah. Keduanya telah dikelilingi pusat-pusat pendidikan Kristenisasi dari Ungaran, Salatiga, Boyolali, Kebumen, dan Magelang sebagai pusat pendidikan serdadu Belanda. Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta hanya memiliki gelar semata karena semuanya dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Akibat tidak ada sandaran kekuatan, akhirnya kaum Muslim ditindas, miskin, kelaparan, dan berbagai wabah penyakit menimpa. Kondisi itulah yang terjadi pada masyarakat Indonesia (pra merdeka) akibat diberlakukannya sistem Tanam Paksa yang berlangsung selama 93 tahun (1245-1338 H/1830-1919 M).

Pada masa itu, pihak kolonial Belanda memaksa orang-orang kecil/pribumi melaksanakan Tanam Paksa di wilayah bersawah, ladang tebu, dan hutan jati. Mereka dipaksa kerja di bawah ancaman peluru, cambuk, dan siksaan lainnya. Tidak sedikit yang menjadi korban. Setiap hari ada saja orang yang mati, terutama orang tua. Dampaknya, jumlah anak yatim piatu semakin banyak.

Tanah dan ladang mereka disita dan dimiliki oleh investor dengan bantuan penguasa Pribumi. Mereka juga dibebani dengan berbagai pajak yang wajib dibayarkan kepada para Boepati untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Kondisi memprihatinkan ini terjadi karena mereka tidak memiliki pelindung karena penguasa Pribumi, dari Loerah hingga Boepati, dan penguasa asing, bertindak sebagai penindas dan koruptor. Bahkan, bangsawan kalangan istana ketika itu tidak lagi memedulikan rakyatnya. Mereka sibuk dengan memperbanyak jumlah istri atau gundik dan senang mengisap candu. Sedangkan rakyatnya, hidup menderita. Semakin memburuklah kondisi masyarakat saat itu.

Keterpurukan kehidupan ekonomi di Surakarta, Jogyakarta, dan Semarang tambah parah dengan adanya huru hara anti-Cina pada Juli 1912. Pemerintah kolonial Belanda menuduh Sjarikat Dagang Islam sebagai dalang huru hara anti-Cina. Sjarikat Dagang Islam Hadji Samanhoedi kemudian dikenai schorsing pada Agustus 1912 M. Akibat tidak menerima schorsing tersebut, massa buruh Sjarikat Islam menjawab dengan pemogokan di Surakarta.

Kondisi memperihatinkan dan carut-marut ini kemudian mengilhami KH.Ahmad Dahlan (1285-1342 H/1868 -1923 M) mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912, Senin Legi, 7 Dzulhijjah 1330 H. Dahlan terpanggil hatinya menjawab tantangan kemiskinan struktural masyarakat Muslim korban penindasan sistem Tanam Paksa. Dengan merujuk pada surah Al-Maun (QS107: 1-7) berusaha membangkitkan kesadaran solidaritas kaum Muslim terhadap sesama Muslim yang menderita, terutama anak-anak yang fakir miskin dan yatim piatu dengan melakukan pembangunan Panti Yatim Piatu. Selanjutnya membentuk Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (MPKO) pada 1336 H/1918 M. untuk mengurus kaum dhu`afa.

Muhammadiyah juga membangkitkan kesadaran wanita membentuk organisasi kewanitaan berbama Sopotrisno diprakarsai Nyi Ahmad Dahlan. Atas usul Hadji Mochtar, nama Sopotrisno diubah menjadi Aisyiah pada 28 Jumadil Akhir 1335 H./21 April 1917 M. Satu tahun kemudian membentuk organisasi untuk pembinaan gadis-gadis yang diberi nama Siswa Pradja Wanita pada 1336 H/1918 M. dan diganti nama menjadi Nasji’atoel Aisyiah pada 1348 H/1929 M. Kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki ciri khas pengajaran agama dan umum.

Demikian penjelasan Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku “Api Sejarah” halaman 419-440. Dalam buku yang diterbitkan Salamadani, 2009, ini Ahmad Mansur menguraikan bahwa strategi dakwah Muhammadiyah cenderung akomodatif dengan budaya lokal. Hal ini terlihat dari beberapa tokoh Muhammadiyah pada masa awal yang tidak melepaskan atribut kejawaan, seperti blankon, batik, dan mengenakan sarung.

Pemahaman keagamaan Muhammadiyah, khususnya KH.Ahmad Dahlan diakui pula oleh dosen luarbiasa jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN SGD Bandung ini dipengaruhi pembaru Islam: Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan paham Wahabiyah. Pengaruh ini tertanam saat Ahmad Dahlan ke Mekkah untuk menunaikan haji dan belajar ilmu-ilmu agama.

Awalnya memang membangkitkan kesadaran dan solidaritas sosial, tetapi kemudian melihat realitas masyarakat Islam yang jauh dari ajaran Islam dan berkecenderungan pada kebatinan; Muhammadiyah mencoba meluruskannya. Wajar jika kemudian Muhammadiyah berwajah puritan dalam dakwahnya.

Mungkin sudah menjadi sunatullah bahwa Muhammadiyah kemudian hari, hingga sekarang banyak mengalami perubahan. Bagaimanakah perubahan dan perkembangannya serta kontribusinya bagi umat Islam Indonesia? Mau tahu? Baca deh buku “Api Sejarah”. Insya Allah tercerahkan!

Oleh: AHMAD SAHIDIN

Kamis, 14 April 2011

Muhammadiyah Dahulu, Kini dan akan datang (dalam lingkup seni “ kesenian” budaya lokal?)


Perserikatan muhammadiyah yang di dirikan oleh muhammad darwis (KH Ahmad Dahlan) seorang pemuda dari kampung kauman yang letak geografisnya hanaya beberapa meter dari kesultanan yogyakarta hadiningrat yang merupakan tempat peradaban budaya jawa. Yang tentunya muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dalam gerak langkahnya tidak akan luput dari tradisi dan budaya yang sudah terbentuk sebelumnya. Walaupun pada ahirnya akan ada benturan benturan budaya yang tidak sesusai dengan apa yang di citatakan oleh sang pendiri.
Sebagaimana cita cita KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri mencita citakan perserikantan ini bisa memurnikan kembali ajaran islam seperti sediakala dan menjauhkan dari hal hal yang berbau syirik dan klenik. Dan budaya yang berkembang di tanah jawa hampir secara keseluruhan akan berhubungan dengan hal hal klenik, namun hal hal itu bisa di kikis dengan pendekatan kultural, sebagaimana yang pernah di lakukan oleh para wali di tanah jawa pada jamannya. Dan kyai Dahlan adalah sosok yang bersaja, tegas dalam hal tauhid ini saya kira juga akan melakukan dahwah ke akar rumput dengan pendekatan secara kultural namun tetap menjauhkan diri dari hal hal klenik. Dalam beberapa leteratur yang saya dapat melalui beberapa media Kyai Dahlan adalah sosok yang juga gemar berkesenian salah satunya yang pernah saya dapat bahwa beliau juga belajr dan bermain biola dalam pendekatan dan menunjukan bahwa muhamadiyah dan islam tidak alergi dengan seni.
Dalam kasus pendekatan kultural ini pun juga di lakukan oleh Kyai AR fahruddin. Ketika beliau di utus ke salah satu daerah di tanah air, yang mana daerah tersebut ada kebiasan/ budaya yasinan pada malam jum’at padahal budaya ini tidak di kenal dalam perserikatan muhammdiyah. Namun, apakah Kyai AR tidak menghadiri undangan tersebut? Beliau tetap menghadiri acara tersebut dan ketika di daulat untuk memimpin yasinan tersebut beliau bertanya pada jamaah, apakah jamaah sudah biasa melaksanakan yasinan? dan bagaimana cara melaksankannya? Jamaah sudah biasa melaksanakan yasinan dan yasinan di lakukan seperti yasinan pada umumnya yang tentunya sudah pada hapal. Lalu beliau menawarkan yasinan yang luar biasa yaitu dengan menafsirkan ayat ayat yang ada di surah yasin dan begitulah seterusnya. Begitu pula ketika beliau di tanya beberapa mahasiswa yang tentang bagaimana berdakwah pada anak anak, dimana para mahasiswa merasa kalah dengan seorang misionaris dalam berdakwah kepada anak-anak, dan kyai AR menngajurkan para mahasiswa melalukan apa yang seperti misionaris lakukan pada anak anak pada hari yang tidak di lalukan si misionaris, seperti bernyanyi bersama bercerita dongeng memainkan dolanan anak, berabagi buku cerita bergambar dan hal-hal yang di senangi anak. Yang pada ahirnya aktifitas si misionaris berlahan berahir. Ini merupakan pendekan kultural yang dahsyat dan cara melawan masuksnya budaya dengan kebudayan pula.
Perserikatan muhammadiyah sesungguhnya banyak memeiliki tokok budaya yang hebat sebut saja muhammad diponegoro seoarang taaterawan, kuntowijoyo budayawan dan juga sastrawan begitu juga emha seorang yang bergelut di teater dan sebibudaya berbasis lokal dengan kyai kanjengnya, taufik ismail seorang penyair san sastrawan besar yang lahir dari rahim muhammadiyah, khoirul umam seorang sutradara yang handal di bidangnya. Dari beberapa kader muhammadiyah yang bergelut di bidang seni ini apa yang telah di lakukan perserikatan pada dunia kesenian utamanya seni panggung dan seni tradisi? Kalo dilihat dan kita saksikan pada perhelatan mukatamar seabad muhammadiyah di pusat kota budaya beberapa yang lalu. Sesungguhnya perserikatan muhammadiyah sesungguhnya mencoba untuk memberitahukan pada halayak bahwa muhammdiyah peduli pada dunia seni dan dan tidak alergi pada kesenian. Kita dapat kita lihat pada perhelatan pembukaan banyak kesenisn yang di tampilkan dan di sela-sela acara muktamar nanyak acara kesenian di gelar di beberapa tempat di kampus UMY ada panggung kesenian di kampus UAD di gelar acara sastra bahkan di alun alun alun utara kesultanan yogya di gelar acara kesenian yang di isi oleh dalang wayang suket KI Slamet Gundono dan pementasan Kyi kanjeng dan masih banyak lagi seniman dan kelompoknya yang tampil bahkan ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin pun tidak ketinggalan untuk ikut bermain ketoprak bersama seniman seniman ketoprak yogya yang di pentaskan di TBY. Namun apakah ini salah satu realita yang sesungguhnya di luar acara muktamar ini? Kalo yang saya rasakan TIDAK sama sekali, bahkan muhammadiyah masih jauh dari hal ini, perserikatan masih berkutat pada seni drum band dan seni beladiri tapak suci. walaupun tidak di pungkiri beberapa gelintir kader dan tokoh di muhammdiyah bergelut di bidang seni panggung dan seni tradisi bahkan modern seperti band dan orkestra katakanlah. Katakanlah Herry Zudiyanto yang kebetulan menjadi wali kota yogya sangan konsen dalam dunia ketoprak pun pak Amien Rais dengan PIAR ( Pusat Informasi Amien Rais) mulai tahun 2004 mensponsori acara pangkus jenggleng di TVRI yogya dan masih banyak lagi orang orang muhammadiyah di kota kelahirannya ini yang bergelut di bidang seni utamanya seni yang mengakar di masyarakat. Dan kalau kita lihat pada sejarah perkembangan islam di nusantara ini sesungguhnya peradaban islam tidak lepas dari kesenian tradisi. Sebagaimana yang di lakukan oleh para tokoh wali songo, sunan bonang misalnya yang membuat gamelan, sunan kalijaga dengan wayang kulit. Namun tetap di mendekat pada hal hal yang berbau klenik. Dan sesungguhnya dalam dunia islam di tanah jawa ini sudah ada jenis wayang kulit yang berkonsep islam yaitu wayang sadat, namun sayangnya ini tidak tergarap dengan baik bahkan dalangnya pun munkin sulit di cari. Seperti kesenian kuda lumping yang saat ini orang mengenalnya dengan istilah jathilan ( bhs. Jawa) yang munkin banyak unsur magis yang tentu tidak sesuai dengan pedoman dan gerakan muhammadiyah, namun saat ini seni kuda lumping juga banyak yang tidak membawa unsur magis dalam pementasanya, artinya kesenian ini bisa di kemas sedemikian rupa sehingga yang hadir pada penonton hanya seni tari kuda lumping yang tanpa unsur magis. Bahkan bisa jadi seorang pemimpin seni tradisi adalah seorang yang zuhud/sufi, sebut saja kabupaten ponorogo di jawa timur yang memiliki seni reog yang tidak jauh beda dengan kuda lumping. Nah saya teringat guru saya, yang menurut saya beliau adalah tokoh agama di ponorogo dan juga insya allah beliau adalah tokoh muhammadiyah di ponorogo, belia adalah KH Ishaq Thoyib (almarhum) yang isaya allah pak Din syamsyidin pun kenal beliau paling tidak pernah mendengar nama pak Ishaq Thoyib. Beliau pernah cerita sesungguhnya groun reog itu memiliki pemompin yangdi sebut dengan Warok, dan untuk menjadi warok itu tidak hanya harus sakti kata orang namun dia harus cerdas berwawasan luas dan lebih penting dia harus orang yang alim di bidang agama bahkan konon menurust cerita beliau dulu warok itu banyak yang zuhud. Dari sini saya mendapat sebuah gambaran kalo saja sebuah kesenian yang sedikit banyak berhubungan dengan hal hal magis, apalagi seni seni tradisi yang jauh dari hal seperti itu, dan ini bisa di jadikan media dakwah dan tranformasi pengetahuan.
Sebenarnya perserikatan memiliki lembaga yang bergelut di bidang seni budaya, namun sepetinya lembaga ini tidak punya taring untuk eksis atau munkin kurangnya dukungan dari semua lapisan organisasi yang di perserikatan. Ya, Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah (LSBM) yang dahulu bernama Majlis Kesenian Muhammadiyah (MKM). Menurut berapa leteratur dan beberapa orang yang ada di lembaga ini dahulu ketika masih bernana MKM, kepengurusannya samapi pada tingkat ranting, yang tentunya ini sangat mempunya peran dalam dakwak berbasis kultural masyarakat setempat. Namun setelah menjadi LSBM lembaga ini tidak sampai ke tingkat ranting. ang munkin ini menyulitkan gerak dan mengakomodir kelompok kelompok seni yang ada bawah. Sebagai organisasi islam tertua di negri ini yang mempunyai kepengurusan samapai pada akar rumput dan memiki amal usaha yang sangat banyak mulai dari bidang pendidikan, perekonomian dan kesehatan, seyogyanya organisasi ini dapat membentuk kelompok kelompok seni tradisisional yang tetap bertauhid, misal nya kelompok kelompok karawitan di ranting ranting, bahkan di lembaga lembaga pendidikan muhammadiyah tidak sedikit yang memiliki kelompok teater atau kesinian yang berbasis tradisi lainnya. Namun sekali lagi apakah kelompok kelompok tersebut sudah mendapat perhatian dari perserikantan? Yang sebenarnya ini merupakan aset perserikatan. Namun tampaknya ini belum menjadi perhatian dan agenda bagi perserikatan maupun tokoh tokoh yang ada di kepengurusan. Kenapa saya katakan ini belum ada perhatian yang mendalam?
Sebuah contoh kasus pertengahan bulan tahun 2009, LSBM mengadakan workshop yang ternyata seponsornya malah sebuah perusahaan ROKOK, lalu kemana perserikatan dalam benak saya saat itu? ban bagaimana nasib kelompok kelompok seni yang ada di kampus kampus muhammadiyah dan di masyarakat kalo sebuah lembaga kesenian milik perserikatan ( PP LSBM) saja untuk mengadakan acara harsu mengemis pada lembaga lain dan apalagi pada sebuah perusahaan swasta, rokok lagiyang notabene di haramkan oleh majlis fatwa muhammadiyah.
Kedepan, pada abad kedua muhammadiyah ini, sebuah tugas (pr) besar bagi PP dan semua lembaga yang ada di perserikatan untuk mengakomodir kelompok kelompok kesenial lokal/tradisi. Baik melalui lembaga pendidikan maupun amal usaha yang lain pun kepengurusan dari pusat samapai ranting. Kalo tidak budaya negri ini akan hancur terkikis jaman, dan akan tergantikan oleh budaya budaya barat yang sudah menyusup pada tiap tubuh yang hidup di negri ini tak terkecuali para generasi muhammadiyah. Jangan sampai kita (muhammadiyah) ikut berkoar/ berteriak macam macam ketika seni dan kebudayaan leluhur negri indonesia ini di aku oleh bangsa lain, sememtara kita kita di sini tidak pernah peduli dan melestarikan apa yang orang ambil dari kita. Perserikatan yang memiliki lebih 15000 pendidikan mulai dari tingkat PAUD sampai Perguruan Tinggi ini. Seharus sudah peduli dan memperhatikan seni/ kesenian tradisi yang ada dan berkembang di masyarakat, dan di akui atau tidak seni maupun kesenian juga merupakan disiplin keilmuan, serta budaya dan kebudayaan yang turut membentuk karakter dan moral sebuah bangsa. Dan sebuah harapan dari beberapa bahkan munkin ratusan orang yang bergelut di bidang seni dan budaya ini bisa melembaga menjadi sebuah kekuatan pergerakan dahwah moral melalui aktivitas seni budaya, pun bisa menjadikan PP LSBM tidak hanya sekedar nama tempat beberapa orang kesenian yang bernaung namun tetap sulit untuk bergerak dan berekplosrasi dengan kesenian.
Tema muktamar kali ini gerak melintasi jaman, gerakan dakwah dan tajdid menuju peradaban utama. Dan banyak orang tahu bahwa sebuah peradaban kaum atau bangsa akan dikenal itu karena ada budaya yang di bangun, islam tetap kokoh sampai saat ini kareana peradaban islam yang dahsyat, peradaban yunani dan romawi di kenal juga kareana budaya. Dan bangsa bisa hancur karena di serang musuh melalui misi budaya. Dari moment seabad muhamamdiyah ini semoga para penggede dan tokoh muhamamdiyah bisa tetap melakukan dakwah tajdid dan tidak melupakan budaya bangsa yang bernama indonesia. Sebersit do’a semoga di abad kedua perserikatan ini bisa menjadi lokomotip bangsa ini untuk lebih maju dan melangkah jedepan menjadikan sebuah beradaban yang lebih mulia melalui semua disiplin ilmu.

Slamet puji susanto

Sejarah Kelahiran Ormas

Sejarah kelahiran Ormas, khususnya Islam senantiasa diidentikan dengan kepentingan dakwah, sosial atau pendidikan. Keberadaannya selalu “disembunyikan” dari nuansa politis. Padahal setiap kekuatan kelompok apapun pasti lahir dari sebuah seting sosial yang mendorong kemudian membentuknya.

Sejarah kelahiran Ormas Islam besar semisal Muhammadiyah, NU dan Persis, senantiasa ditarik pada wilayah dakwah dan selalu mangkir dari wacana politik. Dakwah dimaksud biasanya segala upaya ummat Islam dalam melakukan penyampaian pesan-pesan Islam yang dibarengi dengan berbagai amal nyata, tetapi minus persoalan politik. Politik senantiasa menjadi sebuah wacana yang tabu dan kemunculannya selalu dikebiri dalam kiprah Ormas Islam – dan inilah yang dibangun oleh kekuatan rezim Orde Baru.

Padahal politik dalam wacana keormasan memiliki dua konteks yang sangat penting. Pertama, politik sebagai sarana dakwah. Politik menjadi sangat penting ketika berbicara amar ma’ruf nahyi munkar. Kenapa tidak, bagaimana berjibakunya Ormas Islam menata masyarakat melalui jalur kultural, tetapi pada sisi lain, kebijakan pemerintah dalam waktu sesaat dapat meluluh lantahkannya. Kepemimpinan sudah jelas urusan publik, dan kebijakan kepemimpinan sangat berpengaruh kepada masyarakat. Baik-tidaknya atau maslahat-tidaknya sebuah kebijakan, akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas pemimpin. Untuk itulah kenapa pemimpin yang berkualitas, mengerti urusan ummat dan paham agama itu menjadi sangat penting. Ketika Ormas Islam berjuang untuk melahirkan sebuah kepemimpinan yang berkualitas dan paham ilmu agama, apakah itu bukan dakwah?

Kedua, politik sebagai seting sosial. Tidak ada Ormas Islam yang lahir dalam ruang hampa, semuanya lahir dari sebuah kenyataan politik. Baik Muhammadiyah, NU, maupun Persis, semuanya lahir dalam kondisi bangsa sedang dijajah. Pada masa-masa itu rakyat sedang berjuang keras untuk keluar dari ketertindasan. Setiap komunitas apapun yang dibangun pada masa-masa itu selalu bersinggungan dengan sebuah kepentingan politik. Jadi jika Ormas selalu mengelak dari persinggungan politik pada masa kelahirannya berarti kemungkinannya ada dua, kalau tidak menapikan sejarah, berarti Ormas itu telah terlahir kembali dan beda dengan apa yang dideklarasikan sejak awal.

Disinilah kejujuran sejarah harus dibangun. Membangun kejujuran ini pula harus dibarengi dengan sebuah upaya untuk mengambil inti spirit dari setiap founding father dalam melahirkan Ormas tersebut. Selain pesan dakwah yang menjadi garapan utamanya, para pendiri Ormas Islam selalu menggandengkan kepentingan politik dalam setiap proses dakwahnya. Itulah kenapa banyak tokoh-tokoh Ormas Islam awal yang kemudian terlibat di Masyumi pada masa itu, bahkan NU kemudian menjadi partai tersendiri. Paling tidak ini membuktikan bahwa para pendiri Ormas Islam menganggap penting sebuah kepemimpinan. Mereka berjuang, dalam konteks dakwah, untuk memelihara negara ini salah satunya dengan cara menggawangi posisi kepemimpinan. Spirit untuk selalu membangun kepemimpinan yang berkualitas inilah yang kemudian menjadi bagian dari proses dakwah yang juga mesti diwariskan pada para pengendali Ormas Islam hari ini.

Yang menjadi persoalan, ketika berbicara tentang politik atau kepemimpinan, banyak orang langsung menghubungkannya dengan Partai Politik. Parpol sebenarnya hanya salah satu instrumen politik dalam upaya membangun demokrasi dan menata masa depan bangsa. Masih banyak instrumen yang dapat dijadikan pijakan untuk berperan dalam mengisi demokrasi. Ormas bagaimanapun merupakan kekuatan yang tidak kalah pentingnya dalam memainkan manuver politik di berbagai lini. ABRI (kini TNI dan Polri) dari dulu selalu menjadi bagian penting dalam proses pengambilan kebijakan bagi pemimpin pemerintah, bahkan pada banyak kasus, para pemimpin pada masa Soeharto (sebagian pada masa kini) merasa tidak sempurna kalau bukan dari ABRI. Padahal sebagai mafhum bersama, ABRI atau TNI dan Polri bukanlah Parpol. Pertanyaannya mengapa ABRI atau TNI begitu dipertimbangkan dalam kepemimpinan dan proses pengambilan kebijakan?

Pilkada Langsung

Peluang itu semakin terbuka lebar. Jika para pemimpin Ormas baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah menyadari pentingnya kepemimpinan, pasti akan memanfaatkan momentum Pilkada langsung ini sebagai jalan masuk untuk memberikan kontribusi dalam membangun kualitas demokrasi. Betapa pentingnya kepemimpinan hingga Nabi mengajarkan di antara tiga orang yang bepergian harus mengangkat satu orang sebagai pemimpin. Angkatlah diantaranya satu orang yang dianggap tahu dan adil untuk menjadi pemimpin dalam setiap perjalanan.

Kemudian logika apa jika ajaran agama ini kemudian direduksi menjadi sebuah sikap yang sangat tidak acuh terhadap kemepimpinan. Dakwah yang dilakukan dirasa belum sempurna jika belum menyentuh sisi-sisi kepemimpinan. Mengapa penting, sebab antara jalur kultural dan struktural dalam dakwah tidak ada dikotomi, keduanya harus sinergi, keduanya sangat penting.

Kesadaran inilah yang kemudian harus diaplikasikan dalam sebuah rumusan strategis, bagaimana rambu-rambu Ormas Islam misalnya ketika akan memperjuangkan sebuah kepemimpinan. Tentu saja berbeda fungsi dengan Parpol, tetapi lagi-lagi Ormas dapat diperhitungkan dan menjadi penentu jika memaksimalkan potensinya. Jadi ke depan, jangan ada ceritera kalau Ormas hanya bisa “berdagang” jumlah ummat kemudian ditawarkan kepada orang-orang tertentu yang dianggap memiliki materi lebih dengan harapan akan memberi imbalan berupa dana atau dipermudah urusan-urusan tertentu. Padahal calon yang “membeli” suara Ormas belum tentu adil dan belum jelas komitmen keummatannya.

Dalam konteks Pilkada langsung ini, Ormas menjadi kekuatan yang sangat menentukan. Ormas menjadi sangat mahal. Ormas tidak dapat dirupiahkan, dan ummatnya tidak bisa “didagangkan” oleh siapapun kepada calon manapun. Ormas harus berijtihad melahirkan kepemimpinan sendiri, bukan mendorong-dorong orang lain yang tidak jelas itu.

Itulah kenapa para pemegang kendali Ormas kini harus dapat menjadikan Ormas sebagai “kendaraan” yang dapat dijadikan alat berjuang untuk melahirkan pemimpin berkualitas. Ada visi perjuangan yang jauh lebih penting ketimbang materi dan jabatan yang ditawarkan kepada para elit Ormas tersebut. Sangat banyak kader-kader Ormas yang jauh lebih mampu memimpin Jawa Barat misalnya, kalau para elit Parpol mau menggalinya. Untuk mensukseskannya, jamaah reel di berbagai daerah dan pelosok adalah modal berharga yang belum tentu dimiliki Parpol.

Jika saja dalam konteks Pilgub Jabar Ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis mau bersatu, saya kira selesai Pilgub. Tidak perlu ada mobilisasi massa, tidak perlu mengeluarkan dana yang teramat besar, tidak perlu menambah jaringan dan membodohi rakyat dengan janji-jani semu, dengan hanya menggandeng satu Parpol yang memenuhi syarat saja untuk pintu masuk (jika calon independen belum berlaku), kemenangan sudah di tangan.

Banyak orang yang kemudian akan menganggap bahwa proses seperti ini hanya angan-angan saja, sebab di lapangan memang kondisinya tidak semudah yang dibayangkan. Padahal, yang membuat sesuatu mudah atau tidak bukan proses tetapi niat dan keinginan. Kalau Ormas-ormas besar ini memiliki niat dan keinginan yang sama, saya kira semuanya tidak akan sesulit yang dibayangkan.

Jadi yang sulit sesungguhnya bukan bagaimana proses teknis di lapangan, tetapi mau tidak para elit Ormas besar di Jabar ini menyatukan diri dalam kerangka agenda bersama ini. Kalaupun selama catatan sejarah sangat sulit menyatukan Ormas-ormas ini, saya kira semua kita adalah manusia yang senantiasa mengalami proses adaptasi terhadap persoalan sosial. Kenapa tidak ketika ada agenda keummatan yang sama, semuanya bisa duduk bersama untuk mengisi kepemimpinan di Jabar. Segalanya akan menjadi sangat mungkin, semuanya akan menjadi mudah, jika kita memiliki keinginan bersama (untuk tidak mengatakan harus ada musuh bersama) yaitu membangun Jabar yang lebih baik. Saya kira ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri, dimana Ormas Islam bisa bersatu untuk konteks kepemimpinan di Jawa Barat. Dan mengapa tidak jika upaya ini akan menjadi semacam snow ball yang akan berimbas pada Pilpres 2009.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Komunikasi UNISBA, Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa barat dan Pengurus GPI Jawa Barat

Roni Tabroni