rss

Kamis, 14 April 2011

Sejarah Kelahiran Ormas

Sejarah kelahiran Ormas, khususnya Islam senantiasa diidentikan dengan kepentingan dakwah, sosial atau pendidikan. Keberadaannya selalu “disembunyikan” dari nuansa politis. Padahal setiap kekuatan kelompok apapun pasti lahir dari sebuah seting sosial yang mendorong kemudian membentuknya.

Sejarah kelahiran Ormas Islam besar semisal Muhammadiyah, NU dan Persis, senantiasa ditarik pada wilayah dakwah dan selalu mangkir dari wacana politik. Dakwah dimaksud biasanya segala upaya ummat Islam dalam melakukan penyampaian pesan-pesan Islam yang dibarengi dengan berbagai amal nyata, tetapi minus persoalan politik. Politik senantiasa menjadi sebuah wacana yang tabu dan kemunculannya selalu dikebiri dalam kiprah Ormas Islam – dan inilah yang dibangun oleh kekuatan rezim Orde Baru.

Padahal politik dalam wacana keormasan memiliki dua konteks yang sangat penting. Pertama, politik sebagai sarana dakwah. Politik menjadi sangat penting ketika berbicara amar ma’ruf nahyi munkar. Kenapa tidak, bagaimana berjibakunya Ormas Islam menata masyarakat melalui jalur kultural, tetapi pada sisi lain, kebijakan pemerintah dalam waktu sesaat dapat meluluh lantahkannya. Kepemimpinan sudah jelas urusan publik, dan kebijakan kepemimpinan sangat berpengaruh kepada masyarakat. Baik-tidaknya atau maslahat-tidaknya sebuah kebijakan, akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas pemimpin. Untuk itulah kenapa pemimpin yang berkualitas, mengerti urusan ummat dan paham agama itu menjadi sangat penting. Ketika Ormas Islam berjuang untuk melahirkan sebuah kepemimpinan yang berkualitas dan paham ilmu agama, apakah itu bukan dakwah?

Kedua, politik sebagai seting sosial. Tidak ada Ormas Islam yang lahir dalam ruang hampa, semuanya lahir dari sebuah kenyataan politik. Baik Muhammadiyah, NU, maupun Persis, semuanya lahir dalam kondisi bangsa sedang dijajah. Pada masa-masa itu rakyat sedang berjuang keras untuk keluar dari ketertindasan. Setiap komunitas apapun yang dibangun pada masa-masa itu selalu bersinggungan dengan sebuah kepentingan politik. Jadi jika Ormas selalu mengelak dari persinggungan politik pada masa kelahirannya berarti kemungkinannya ada dua, kalau tidak menapikan sejarah, berarti Ormas itu telah terlahir kembali dan beda dengan apa yang dideklarasikan sejak awal.

Disinilah kejujuran sejarah harus dibangun. Membangun kejujuran ini pula harus dibarengi dengan sebuah upaya untuk mengambil inti spirit dari setiap founding father dalam melahirkan Ormas tersebut. Selain pesan dakwah yang menjadi garapan utamanya, para pendiri Ormas Islam selalu menggandengkan kepentingan politik dalam setiap proses dakwahnya. Itulah kenapa banyak tokoh-tokoh Ormas Islam awal yang kemudian terlibat di Masyumi pada masa itu, bahkan NU kemudian menjadi partai tersendiri. Paling tidak ini membuktikan bahwa para pendiri Ormas Islam menganggap penting sebuah kepemimpinan. Mereka berjuang, dalam konteks dakwah, untuk memelihara negara ini salah satunya dengan cara menggawangi posisi kepemimpinan. Spirit untuk selalu membangun kepemimpinan yang berkualitas inilah yang kemudian menjadi bagian dari proses dakwah yang juga mesti diwariskan pada para pengendali Ormas Islam hari ini.

Yang menjadi persoalan, ketika berbicara tentang politik atau kepemimpinan, banyak orang langsung menghubungkannya dengan Partai Politik. Parpol sebenarnya hanya salah satu instrumen politik dalam upaya membangun demokrasi dan menata masa depan bangsa. Masih banyak instrumen yang dapat dijadikan pijakan untuk berperan dalam mengisi demokrasi. Ormas bagaimanapun merupakan kekuatan yang tidak kalah pentingnya dalam memainkan manuver politik di berbagai lini. ABRI (kini TNI dan Polri) dari dulu selalu menjadi bagian penting dalam proses pengambilan kebijakan bagi pemimpin pemerintah, bahkan pada banyak kasus, para pemimpin pada masa Soeharto (sebagian pada masa kini) merasa tidak sempurna kalau bukan dari ABRI. Padahal sebagai mafhum bersama, ABRI atau TNI dan Polri bukanlah Parpol. Pertanyaannya mengapa ABRI atau TNI begitu dipertimbangkan dalam kepemimpinan dan proses pengambilan kebijakan?

Pilkada Langsung

Peluang itu semakin terbuka lebar. Jika para pemimpin Ormas baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah menyadari pentingnya kepemimpinan, pasti akan memanfaatkan momentum Pilkada langsung ini sebagai jalan masuk untuk memberikan kontribusi dalam membangun kualitas demokrasi. Betapa pentingnya kepemimpinan hingga Nabi mengajarkan di antara tiga orang yang bepergian harus mengangkat satu orang sebagai pemimpin. Angkatlah diantaranya satu orang yang dianggap tahu dan adil untuk menjadi pemimpin dalam setiap perjalanan.

Kemudian logika apa jika ajaran agama ini kemudian direduksi menjadi sebuah sikap yang sangat tidak acuh terhadap kemepimpinan. Dakwah yang dilakukan dirasa belum sempurna jika belum menyentuh sisi-sisi kepemimpinan. Mengapa penting, sebab antara jalur kultural dan struktural dalam dakwah tidak ada dikotomi, keduanya harus sinergi, keduanya sangat penting.

Kesadaran inilah yang kemudian harus diaplikasikan dalam sebuah rumusan strategis, bagaimana rambu-rambu Ormas Islam misalnya ketika akan memperjuangkan sebuah kepemimpinan. Tentu saja berbeda fungsi dengan Parpol, tetapi lagi-lagi Ormas dapat diperhitungkan dan menjadi penentu jika memaksimalkan potensinya. Jadi ke depan, jangan ada ceritera kalau Ormas hanya bisa “berdagang” jumlah ummat kemudian ditawarkan kepada orang-orang tertentu yang dianggap memiliki materi lebih dengan harapan akan memberi imbalan berupa dana atau dipermudah urusan-urusan tertentu. Padahal calon yang “membeli” suara Ormas belum tentu adil dan belum jelas komitmen keummatannya.

Dalam konteks Pilkada langsung ini, Ormas menjadi kekuatan yang sangat menentukan. Ormas menjadi sangat mahal. Ormas tidak dapat dirupiahkan, dan ummatnya tidak bisa “didagangkan” oleh siapapun kepada calon manapun. Ormas harus berijtihad melahirkan kepemimpinan sendiri, bukan mendorong-dorong orang lain yang tidak jelas itu.

Itulah kenapa para pemegang kendali Ormas kini harus dapat menjadikan Ormas sebagai “kendaraan” yang dapat dijadikan alat berjuang untuk melahirkan pemimpin berkualitas. Ada visi perjuangan yang jauh lebih penting ketimbang materi dan jabatan yang ditawarkan kepada para elit Ormas tersebut. Sangat banyak kader-kader Ormas yang jauh lebih mampu memimpin Jawa Barat misalnya, kalau para elit Parpol mau menggalinya. Untuk mensukseskannya, jamaah reel di berbagai daerah dan pelosok adalah modal berharga yang belum tentu dimiliki Parpol.

Jika saja dalam konteks Pilgub Jabar Ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis mau bersatu, saya kira selesai Pilgub. Tidak perlu ada mobilisasi massa, tidak perlu mengeluarkan dana yang teramat besar, tidak perlu menambah jaringan dan membodohi rakyat dengan janji-jani semu, dengan hanya menggandeng satu Parpol yang memenuhi syarat saja untuk pintu masuk (jika calon independen belum berlaku), kemenangan sudah di tangan.

Banyak orang yang kemudian akan menganggap bahwa proses seperti ini hanya angan-angan saja, sebab di lapangan memang kondisinya tidak semudah yang dibayangkan. Padahal, yang membuat sesuatu mudah atau tidak bukan proses tetapi niat dan keinginan. Kalau Ormas-ormas besar ini memiliki niat dan keinginan yang sama, saya kira semuanya tidak akan sesulit yang dibayangkan.

Jadi yang sulit sesungguhnya bukan bagaimana proses teknis di lapangan, tetapi mau tidak para elit Ormas besar di Jabar ini menyatukan diri dalam kerangka agenda bersama ini. Kalaupun selama catatan sejarah sangat sulit menyatukan Ormas-ormas ini, saya kira semua kita adalah manusia yang senantiasa mengalami proses adaptasi terhadap persoalan sosial. Kenapa tidak ketika ada agenda keummatan yang sama, semuanya bisa duduk bersama untuk mengisi kepemimpinan di Jabar. Segalanya akan menjadi sangat mungkin, semuanya akan menjadi mudah, jika kita memiliki keinginan bersama (untuk tidak mengatakan harus ada musuh bersama) yaitu membangun Jabar yang lebih baik. Saya kira ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri, dimana Ormas Islam bisa bersatu untuk konteks kepemimpinan di Jawa Barat. Dan mengapa tidak jika upaya ini akan menjadi semacam snow ball yang akan berimbas pada Pilpres 2009.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Komunikasi UNISBA, Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa barat dan Pengurus GPI Jawa Barat

Roni Tabroni


Tidak ada komentar:

Posting Komentar